MENDAPAT buku gratis tentu menggembirakan. Apalagi jika buku itu tergolong
best seller. Itulah yang saya rasakan saat menerima buku
Chairul Tanjung Si Anak Singkong, Rabu (18/7/2012) lalu.
(Sumber gambar:gramediamatraman.wordpress.com)
Buku ini dikirimkan Denny Jakson Simanjuntak dari Group of Book
Publishing Kompas Gramedia Makassar. Pemberian buku ini dimaksudkan
untuk dibuatkan resensi di
Tribun Timur, surat kabar harian
yang terbit di Provinsi Sulawesi Selatan. Di media inilah saya bekerja
sebagai jurnalis sejak koran ini terbit perdana 9 Februari 2004 lalu.
Mas Denny, begitu biasa saya menyapanya, sudah sejak lama kerap
mengirimkan buku-buku terbitan Group of Book Publishing Kompas Gramedia
kepada kami untuk dibuatkan resensi. Bagi saya, meresensi buku adalah
pekerjaan yang menyenangkan.
Sebab meresensi buku manfaatnya sangat banyak. Di antaranya tentu saja
menambah wawasan. Juga melatih kita menuangkan saripati buku yang
diresensi dalam bentuk teks. Keuntungan lainnya adalah memeroleh buku
gratis sebagai bonus membuat resensi. Menyenangkan bukan?
Isi Buku
Kembali ke laptop, kata Tukul. Hehehe….maksud saya kembali ke perihal buk
u Chairul Tanjung Si Anak Singkong. Buku ini ditulis Tjahja Gunawan Diredja yang juga wartawan Harian
Kompas. Buku ini diberi kata pengantar oleh Jakob Oetama, Pendiri dan Pemimpin Umum Harian
Kompas.
Buku ini mengisahkan penggalan perjalanan pahit getir dan jatuh
bangunnya Chairul Tanjung alias CT sebagai pengusaha yang merintis usaha
dari nol tanpa fasilitas dari pemerintah. Buku yang terdiri 384 halaman
ini juga dilengkapi sejumlah foto yang mengisahkan berbagai aktivitas
bisnis maupun kegiatan sosial CT. Termasuk beberapa foto saat CT masih
remaja.
Pada buku ini antara lain memaparkan bahwa dalam usia 50 tahun, CT telah
berhasil menjadi tokoh sukses di berbagai bidang. Terutama pada bidang
bisnis properti, perbankan, asuransi, perhotelan, pasar modal, dan media
massa. Total asetnya pun kini bernilai triliunan rupiah.
(sumber foto: tribunnews.com)
Majalah
Forbes, sebuah majalah bisnis dan finansial Amerika
Serikat yang didirikan pada 1917 oleh BC Forbes, pada Maret 2012
mengeluarkan daftar 1.226 orang terkaya di dunia. Sebanyak 17 di
antaranya adalah orang Indonesia. Nah, nama CT termasuk di antara 17
nama itu. Tepatnya pada urutan 634 orang terkaya di dunia. Kekayaan
pribadi CT disebut mencapai dua miliar dolar AS atau setara Rp 18
triliun (kurs: 1 dolar AS = Rp 9.000).
Padahal, CT bukan berasal dari keluarga anak konglomerat. Juga bukan
anak jenderal. Bos CT Corp (Chairul Tanjung Corpora) yang menaungi
puluhan perusahaan ini mengaku sebagai anak dari keluarga sederhana.
Ayahnya, AG Tanjung, adalah wartawan sekaligus pengelola surat kabar
beroplah kecil sejak Orde Lama. Namun saat Orde Baru berkuasa, surat
kabar yang dikelola ayahnya itu kemudian dipaksa tutup karena
berseberangan secara politik dengan penguasa saat itu. Kondisi ini
membuat orangtuanya menjual rumah dan berpindah tinggal.
Masa kecil CT dilewati di Gang Abu, Batutulis, Kelurahan Kebon Kelapa,
Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat. Katanya, pada tahun 1970-an, merupakan
satu di antara kawasan terkumuh di Jakarta. Jalanan tanah, becek, dan
banjir kala hujan. Semua rumah di kawasan ini merupakan rumah petak
kecil, beratap pendek, dinding tambal sulam, dan tak ada bangunan
bertingkat.
Kondisi keuangan orangtua CT pun saat itu terbatas. Ibu CT, Halimah,
sampai harus menggadaikan kain halus miliknya untuk membiayai kuliah
pertama CT di Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) Universitas Indonesia (UI).
Namun sadar dengan keterbatasan keuangan orangtuanya, Chairul tumbuh
menjadi anak yang kreatif, pekerja keras, dan mandiri sejak muda. Kini
ia pun menuai hasilnya.
Masa Mahasiswa
Di buku ini juga mengisahkan bahwa sejak kuliah di FKG UI, CT pun harus
mencari sendiri uang agar bisa membiayai kebutuhan kuliahnya. Di awali
dengan membuka usaha fotokopi di kampusnya. Lalu masuk ke bisnis
alat-alat kedokteran gigi untuk memenuhi kebutuhan rekan-rekannya.
Sembari menjalankan bisnis di kampus, CT juga aktif dalam urusan gerakan
kemahasiswan. Buktinya ia sempat dipercaya sebagai Ketua Ex-Officio
Dewan Mahasiswa UI. Lalu pada 1984, ia terpilih menjadi Koordinator
Mahasiswa se-Jakarta. Pada tahun yang sama, ia juga terpilih sebagai
mahasiswa teladan tingkat nasional.
Saat mahasiswa, ia dan rekannya terlibat dalam gerakan menolak
militerisme masuk UI dengan menggelar mogok kuliah. Tak hanya
menggembok, tapi juga mengelas pintu masuk fakultas. Pasalnya, saat itu
terdengar isu bahwa Mayjen TNI Nugroho Notosusanto akan diangkat Rektor
UI menggantikan Prof Dr Mahar Mardjono.
Selepas kuliah, CT pernah mendirikan PT Pariarti Shindutama yang
memproduksi sepatu anak-anak untuk ekspor. Kepiawaiannya membangun
jaringan dan sebagai pengusaha membuat bisnisnya pun semakin berkembang.
Di bidang keuangan, ia mengambil alih Bank Karman yang kini bernama
Bank Mega.
Di bidang bisnis bidang penyiaran dan multimedia, ia juga sukses membesarkan T
rans TV. Lalu membeli
TV7 dan mengubah namanya menjadi
Trans7.
Lalu membuat Trans Studio. Satu di antaranya adalah Trans Studio Mall
yang ada di Makassar. Pada 1 Desember 2011, Chairul meresmikan
perubahan nama Para Grup menjadi CT Corp. CT adalah singkatan dari
namanya.
Mungkin dinilai sukses di bidang bisnis dan telah menjadi konglomerat
serta pemilik media massa, CT sempat ditawari beberapa petinggi untuk
bergabung di partainya. Namun ayah dua anak dan suami dari Anita
Ratnasari ini menolak bergabung di partai politik. Ia memilih kukuh dan
fokus sebagai pengusaha.
UCAPAN SELAMAT - Pemimpin Umum Kelompok
Kompas Gramedia Jacob Oetamo (kiri) memberikan ucapan selamat kepada
CEO CT Corp Chairul Tanjung seusai peluncuran buku Chairul Tanjung Si
Anak Singkong di Trans Ballromm, Trans Luxury Hotel Bandung, Sabtu
(30/6/2012) malam. (Sumber foto: TRIBUN JABAR/DENI DENASWARA)
Respon Pembaca
Kehadiran buku
Chairul Tanjung Si Anak Singkong ini rupanya
mendapat sambutan positif di berbagai daerah di Indonesia. Termasuk di
Kota Makassar. Di Kota Makassar, buku ini bisa dijumpai di Toko Buku
(TB) Gramedia Panakkukang, TB Gramedia MaRI, dan TB Gramedia Trans
Studio Mall.
“Khusus di Kota Makassar, sudah ribuan buku ini terjual. Pokoknya buku
ini laris manis di Toko Buku Gramedia di seluruh Indonesia,” ujar Denny
yang menghubungi saya via ponsel, Jumat (20/7/2012).
Menurut Mas Denny, hingga saat ia menelepon saya, buku ini telah terjual
lebih seratusan ribu eksempelar secara nasional. Padahal peluncuran
perdana buku ini baru saja, tepatnya pada Sabtu (30/6/2012) malam lalu
di Trans Convention Centre, Bandung, Provinsi Jawa Barat.
Saking larisnya, buku ini telah dicetak ulang hingga cetakan keempat. Buku
Chairul Tanjung Si Anak Singkong yang saya terima merupakan cetakan pertama. Buku ini pertama kali diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh
Penerbit Buku Kompas, Juni 2012. Di TB Gramedia, harga buku ini dijual Rp 58 ribu per eksempelar.
Penilaian saya, buku yang dicetak kali keempat hanya dalam waktu tak
sampai sebulan merupakan fenomenal. Ini mungkin efek dari kerapnya buku
ini diiklankan melalui media massa milik CT yakni
Trans TV, Trans 7, dan
Detik.com. Ya, inilah kekuatan lain beriklan di media massa.
(jumadi mappanganro)